Kamis, 25 September 2008
Hoda Debata
Bagaimana saya harus mencari informasi yang lebih dalam untuk memaknai pernyataan tersebut? Dari dokumen yang saya ketahui, pembicaraan tentang kurban kuda sangatlah minim bila dibandingkan dengan kurban kerbau. Upacara kurban kerbau sering disebut dengan mangalahat horbo. Berarti suatu upacara menyembelih kerbau jantan yang ditambatkan pada kayu borotan, untuk mengadakan reuni sambil merenungkan partisipasi roh-roh anggota keluarga yang diiringi dengan pemukulan gendang sekaligus mengadakan pembaharuan terhadap segala sesuatu secara communal. Upacara kurban kerbau juga dipakai untuk menyambut tahun baru.
Karena dokumentasi tentang upacara kurban kuda sedikit minim, terpakasa saya mencoba pergi ke daerah Batak yang sering memotong kuda yaitu Dolok Sanggul.Jawaban yang didapat penulis yaitu bahwa kurban kerbau yang disebut dengan “Mangalahat Horbo” dan kurban kuda yang disebut dengan mangalahat hoda memiliki nilai yang sama. Orang yang mengatakan kurban kuda sebagai yang tertinggi mengatakan nampak dari beberapa istilah yang dikenakan kepada upacara tersebut dan sangat terasa dari ungkapan yang mengatakan: pitu anak horbo sipatogu-toguon alai sada do anak ni hoda ingkon sipaabingabingon?
Pandangan bahwa Kurban Kuda lebih tinggi nilainya merujuk pada istilah yang dikenakan kepada Kuda sendiri. Kerbau tidak pernah dikatakan dengan istilah Kerbau Ilah (Horbo ni Debata) tetapi untuk kuda ditemukan istilah cultural yaitu Hoda Debata (Hoda Miahan) yaitu kuda yang diurapi. Kuda dipelihara dengan baik dan terkadang milik suatu marga yang akan dipersembahkan kepada Debata Mulajadi Nabolon.Menurut informan penulis lagi, Kuda lebih dahulu dikuduskan sebelum dipersembahkan dengan upacara tertentu. Pengudusan atau penyucian berlangsung di sebuah mata air yang dinamai homban. Homban adalah mata air yang dipelihara yang disekelilingnya ditanami bunga-bungaan dan pepohonan, kepunyaan satu marga atau keturunan seseorang leluhur.Setelah penyucian berlangsung, kuda direciki dengan air jeruk purut yang sudah didoakan. Setelah perecikan berlangsung, kuda dihiasi dengan bunga-bungaan dan diarak ke kampong. Kuda tidak langsung disembelih tetapi dipelihara sehingga pada suatu saat akan dipersembahkan.Biasanya kuda dipersembahkan kepada Debata Natolu. Kuda yang berwarna hitam dipersembahkan kepada Debata Bataraguru, kuda yang berwarna putih dipersembahkan kepada Debata Bala Sori dan yang berwarna merah dipersembakan kepada Debata Mangalabulan. Ketiga warna merupakan warna dari Debata Natolu.Kuda dikurbankan untuk tolak bala yang sedang dan akan terjadi. Kuda juga dikurbankan untuk mengembalikan status bahari para arwah yang selalu mengganggu kehidupan orang yang masih berada di dunia yang sering disebut dengan papurpur sapata. Kuda sering juga dikurbankan untuk menebus segala dosa dan penyempurnaan diri.
Kehausan pengetahuan tentang kurban kuda secara ritual Batak Toba semakin terpenuhi ketika ada informan menceritakan pengalamannya saat mengikuti upacara tolak bala pada tanggal 29 Juli 2006 yang lalu yang menjadikan Kuda sebagai kurban. Ritus dimulai dengan Tortor Pangurason(penyucian). Tujuan ritus ini adalah penyucian dan pengudusan agar roh-roh jahat tidak mendekat pada tempat dan para peserta upacara. Pemimpin upacara merecikkan air dalam cawan yang dibawa para panortor (penari). Setelah perecikan itu dilanjutkan lagi dengan Tortor Sipitu Sawan. Secara mitologis ketujuh cawan berisi tujuh ilmu pengetahuan dan kesaktian orang Batak Toba. Kemudian dilanjutkan dengan penghormatan Mulajadi na Bolon dengan mengapungkan sesajen ke Danau Toba. Bagian ritus ini dimpimpin oleh (dukun perempuan). Sibaso lewat mantra yang dilafalkan meminta keselamatan dan dijauhkan dari bala.Ritual pun dilanjutkan yaitu Tortor Tunggal Panaluan yang merupakan suatu ritus yang wajib dalam pesta budaya Batak Toba. Tunggal panaluan dianggap orang Batak keramat dan tidak sembarang digunakan. Tunggal Panaluan hanya dimiliki oleh golongan raja dan datu dan digunakan untuk menjelaskan tanda-tanda alam, termasuk menentukan keputusan. Tortor Tunggal Panaluan hanya ditarikan oleh sang Datu, pemimpin liturgy. Setelah selesai Tortor Tunggal Panaluan, upacara selanjutnya mamattik Borotan yang digunakan sebagai tempat mengikat hoda(kuda) yang akan dipersembahkan.Setelah upacara ini, kudapun diikat di tiang borotan. Lalu peserta dipersilahkan mengelus kuda sembelihan sambil tetap menari yang dipimpin oleh pemimpin liturgy (dukun).
Secara simbolik mengusap kuda analog dengan pengiklasan kuda untuk dipersembahkan. Elusan atau usapan dinilai sebagai cara untuk mentransfer segala perbuatan jahat para peserta tanpa kecuali. Roh kuda dalam refleksi ini dijadikan sebagai mediasi yang berfungsi untuk menunjukkan tanda penyesalan akan segala perbuatan jahat. Setelah itu kudapun disembelih. Darah, daging bahkan nafas kuda tetap berlaku sebagai mediasi kurban dan sekaligus menjadi penambah orang yang menyantapnya.Upacara kurban ini berakhir dengan Pamelean Bolon. Artinya persembahan agung kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Persembahan diarak dan disajikan secara berurutan. Daging kuda yang telah disembelih dan dimasak dihantar ke mesbah sambil diiringi denganTortor marsiolopan (saling membantu) dan tortor Horas tu Hasahaton Sitiotio (meminta berkat).Upacara ini berakhir dengan makan bersama. Para peserta dipersilahkan mencicipi persembahan itu sembari tetap manortor mengikuti irama gondang. Makanan bukan lagi manakan sembarangan tetapi makanan yang sungguh sacral dan barangkali bisa disebut sebagai sacrament karena sudah terimbuhi oleh daya ilahi. Mendengar kisah itu, perasaanpun sedikit lega. Harus diakui dan diterima bahwa tradisi Batak Toba Tua sangat kental dengan upacara kurban bahkan menjadi cirinya yang utama. Dalam menjalin relasi dengan dunia atas yang memuncak pada Mulajadi Na Bolon, kurban seolah-olah menjadi syarat utama agar penghuni dunia atas mau duduk bersama dengan penghuni dunia tengah sebagaimana diungkapkan dalam maksim yang mengatakan: di si sirungguk di si sitata, di si hita juguk di si do Ompunta Debata.
Senin, 22 September 2008
Pelean Orang Batak Toba

Manusia religus dalam kesatuan sosial maupun sebagai manusia individu tidak dapat berlangsung kalau tidak dipulihkan dengan ritus-ritus yang menjamin harmoni dengan kekuatan-kekuatan kosmis dan ilahi. Apabila terjadi disharmoni, maka diadakanlah ‘penahiran terhadap penyebab disharmoni. Dari semua ritus, upacara kurban mendapat tempat utama sebab lewat upacara itu manusia religius mengadakan transromasi diri kepada yang ilahi lewat pemberian; dan relasi serta komunikasi yang akrab antara dia dengan yang ilahi ditetapkan dengan keikutsertaannya dalam persembahan yang dikuduskan. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa upacara kurban merupakan salah satu ciri manusia religius.
Apakah pandangan ini dapat diterapkan dalam budaya Batak Toba primal? Tidak dapat diragukan bahwa di dalam budaya Batak Toba upacara kurban merupakan ritus religius yang sering diadakan baik untuk menjaga harmoni maupun untuk mengembalikan harmoni yang telah rusak. Secara umum orang Batak Toba menyebut kurban dengan istilah pelean. Kata kerja pelean adalah mamele yang berarti mempersembahkan sajian, menyajikan kurban kepada dewata atau roh. Mamelehon berarti mempersembahkan sebagai kurban (Joosten, 239).
Persembahan atau kurban sajian merupakan tanda ketergantun gan pihak penyembah kepada tersembah. Lewat kurban orang yang mengurbankan memperoleh kekuatan spiritual (sahala) dan roh (tondi). Kurban tidak dapat diperbandingkan atau diukur secara ekonomis tetapi ia berfungsi sebagai ‘alat’ untuk bermohon kepada Sang Khalik. Kurban dalam pemikiran orang Batak Toba disadari sebagai lapik (alas) ni tangan untuk bermohon (marsomba); tanda parsantabian kepada yang dianggap layak menerima permohonan dan terlebih kepada mahluk supernatural. Persembahan atau kurban adalah sebagai pengantar atau sebagai tanda hapantunon dan permohonan yang sungguh-sungguh datang dari kesadaran manusia sebagai yang lemah kepada roh, sombaon, Sumangot, Debata Natolu dan Mulajadi Nabolon.
Upacara kurban dalam budaya Batak Primal juga tergantung pada hari yang telah ditentukan sebab mereka yakin bahwa tidak setiap hari dianggap sebagai hari yang kudus atau cocok dengan kehendak Ilahi.
Jelas bahwa upacara kurban tampak seolah-olah kita memberikan apa yang menjadi kesukaan (hasoman) mahluk-mahluk meta-empiris. Persembahan yang seperti ini tidak dapat disamakan dengan persembahan kepada penguasa dunia. Upacara kurban seperti ini menurut Levi-Strauss dalam bukunya yang berjudul Structual Anthropology merupakan komunikasi non-verbal karena mencakup pertukaran barang dan jasa pada level religius (Levi-Strauss, 1967; 289). Pertukaran barang dan jasa ini tidak menunjukkan kaitan atau hubungan konkret antara mahluk religius dengan mahluk metaempiris. Kegiatan kurban yang dipandang sebagai komunikasi non-verbal meliputi persembahan, persekutuan dan silih.
Paham tentang kruban akan berbeda-beda dan perbedaan itu dapat kita kelompokkan ke dalam tiga bagian global. Pertama kruban dapat dimengerti sebagai persembahan hadia. Kurban persembahan ini terjadi manakala seseorang, keluarga, marga atau suku tertentu bebas dari malapetakan atau situasi batas seperti: penyakit, peperangan dan kematian. Barangkali seseorang atau keluarga memperoleh keuntungan sehingga mereka mengadakan kurban. Bagian dari persembahan diberikan kepada roh-roh atau yang ilahi sedangkan sisanya dimakan secara bersana. Kebiasaan ini masih bisa kita dapati dalam konteks horja taon (pesta penyambutan tahun baru) dan juga pesta gotilon. Segi persembahan dalam upadara kruban sangat penting. Persembahan yang dialkukan mempunyai intensi atau maksud-maksud tertentu yaitu ganjaran balasan diberi oleh mahkluk-makhluk supernatural lewat sesuatu cara.
Prinsip do ut des (saya memberi supaya engkau pun memberi) agaknya berlaku dalam kurban Batak Toba. Dalam prinsip ini Yang ilahi seoalah-olah manusia dan mahluk adikodrati tidak dapat memberi atau menerima materi dengan cara seperti yang diperbuat manusia. Hanya saja dari pihak pengurban ada keyakinan bahwa roh-roh sanggup berbuat apa saja sesuai dengan keinginannya dan si pengurban sendiri tidak berdaya seperti mahluk supernatural.
Kedua, dalam bukunya yang berjudul Dendang Bakti, A.B. Sinaga yang melihat bahwa kurban Horbo Bius yang merupakan persembahan tertinggi di dalam budaya Batak Toba merupakan suatu perjamuan makan komunal di mana para pengurban dan Mulajadi Na Bolon ‘seolah-olah’ berbagi makanan yang sama. Binatang kurban yang dipersembahkan yang diinterpretasikan lewat gerak-gerik binatang saat dikurbankan, dalam artian tertentu, seolah-olah menyampaikan pesan-pesan bahkan identik dengan diri Ilahi (A.B, Sinaga, 2004; 177-288). Dalam kurban Horbo Bius ini tampil persekutuan yang melupakan elemen dasar dari persekutuan. Tindakan saling berbagi bersama, menerima dan memberi tampak dalam persekutuan. “Mereka yang duduk bersama dalam perjamuan dipersatukan dalam semua efek sosial” (William a. Lessa dan Evon Z. Vogt, 1965; 41). Baik manusia maupun yang Ilahi hadir secara bersama seperti menampilkan harmoni awal.
Kurban menjadi jalan untuk mempersatukan manusia dengan penghuni dunia kayangan. Konsep orang Batak mengatakan demikian: pelean patedekhon habonaran, hatigoran dohot hasintongan ni roha tu Mulajadi Na Bolon, asa gundur pangalamuni dohot ansimun pangalambohi. Pelean gabe dalan pardomuan dohot pardengganon habonaron dohot parhataon dompak Mulajadi nabolon. Artinya, kurban sungguh menjadi jalan, membenarkan memperbaiki relasi yang sudah rusak dengan yang ilahi dan manusia-kosmos.
Ketiga, salah satu unsur yang menyolok dalam kurban yakni adanya komunikasi dengan penghuni dunia atas (banua ginjang) lewat kurban yang telah dikuduskan. Pengudusan kurban itu sepertinya dimaui oleh Mulajadi. Kosmos menjadi hasea (berkhasiat, bermakna dan sakral) dan ilahi. Dengan berdasar pada paham hasea, lahirlah pembaharuan sikap moral orang yang melakukan tindakan pengurbanan baik kepada sesama, alam maupun kepada Sang Kudus. Secara tidak langsung upacara kurban mengimplikasikan suatu tindakan penyucian, karena dengan cara itu obyek kurban berubah dari status profan ke status sakral. Siapakah yang diyakini dapat membaca makna religius dari kurban ini? Datu (shaman) menjadi penentu karena mereka mempunyai kapasitas untuk menafsirka maksud ilahi tersebut.