Senin, 22 September 2008

Pelean Orang Batak Toba



Manusia religus dalam kesatuan sosial maupun sebagai manusia individu tidak dapat berlangsung kalau tidak dipulihkan dengan ritus-ritus yang menjamin harmoni dengan kekuatan-kekuatan kosmis dan ilahi. Apabila terjadi disharmoni, maka diadakanlah ‘penahiran terhadap penyebab disharmoni. Dari semua ritus, upacara kurban mendapat tempat utama sebab lewat upacara itu manusia religius mengadakan transromasi diri kepada yang ilahi lewat pemberian; dan relasi serta komunikasi yang akrab antara dia dengan yang ilahi ditetapkan dengan keikutsertaannya dalam persembahan yang dikuduskan. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa upacara kurban merupakan salah satu ciri manusia religius.

Apakah pandangan ini dapat diterapkan dalam budaya Batak Toba primal? Tidak dapat diragukan bahwa di dalam budaya Batak Toba upacara kurban merupakan ritus religius yang sering diadakan baik untuk menjaga harmoni maupun untuk mengembalikan harmoni yang telah rusak. Secara umum orang Batak Toba menyebut kurban dengan istilah pelean. Kata kerja pelean adalah mamele yang berarti mempersembahkan sajian, menyajikan kurban kepada dewata atau roh. Mamelehon berarti mempersembahkan sebagai kurban (Joosten, 239).

Persembahan atau kurban sajian merupakan tanda ketergantun gan pihak penyembah kepada tersembah. Lewat kurban orang yang mengurbankan memperoleh kekuatan spiritual (sahala) dan roh (tondi). Kurban tidak dapat diperbandingkan atau diukur secara ekonomis tetapi ia berfungsi sebagai ‘alat’ untuk bermohon kepada Sang Khalik. Kurban dalam pemikiran orang Batak Toba disadari sebagai lapik (alas) ni tangan untuk bermohon (marsomba); tanda parsantabian kepada yang dianggap layak menerima permohonan dan terlebih kepada mahluk supernatural. Persembahan atau kurban adalah sebagai pengantar atau sebagai tanda hapantunon dan permohonan yang sungguh-sungguh datang dari kesadaran manusia sebagai yang lemah kepada roh, sombaon, Sumangot, Debata Natolu dan Mulajadi Nabolon.

Upacara kurban dalam budaya Batak Primal juga tergantung pada hari yang telah ditentukan sebab mereka yakin bahwa tidak setiap hari dianggap sebagai hari yang kudus atau cocok dengan kehendak Ilahi. Ada hari yang tepat yang dikuduskan sang Kudus untuk menanam dan ada hari yang sangat tepat untuk pengudusan diri lewat kurban. Oleh karena tiu untuk memohonkan hagabeon, hasangapon, hamoraon, sinur nang pinahan gabe na niula, lewat perantaraan kurban, sangat dibutuhkan tuntunan dari yang sungguh berkompeten dalam penujuman hari. Dengan demikian dalam budaya Batak Toba ditemukan pelbagai jenis upacara kurban.

Jelas bahwa upacara kurban tampak seolah-olah kita memberikan apa yang menjadi kesukaan (hasoman) mahluk-mahluk meta-empiris. Persembahan yang seperti ini tidak dapat disamakan dengan persembahan kepada penguasa dunia. Upacara kurban seperti ini menurut Levi-Strauss dalam bukunya yang berjudul Structual Anthropology merupakan komunikasi non-verbal karena mencakup pertukaran barang dan jasa pada level religius (Levi-Strauss, 1967; 289). Pertukaran barang dan jasa ini tidak menunjukkan kaitan atau hubungan konkret antara mahluk religius dengan mahluk metaempiris. Kegiatan kurban yang dipandang sebagai komunikasi non-verbal meliputi persembahan, persekutuan dan silih.

Paham tentang kruban akan berbeda-beda dan perbedaan itu dapat kita kelompokkan ke dalam tiga bagian global. Pertama kruban dapat dimengerti sebagai persembahan hadia. Kurban persembahan ini terjadi manakala seseorang, keluarga, marga atau suku tertentu bebas dari malapetakan atau situasi batas seperti: penyakit, peperangan dan kematian. Barangkali seseorang atau keluarga memperoleh keuntungan sehingga mereka mengadakan kurban. Bagian dari persembahan diberikan kepada roh-roh atau yang ilahi sedangkan sisanya dimakan secara bersana. Kebiasaan ini masih bisa kita dapati dalam konteks horja taon (pesta penyambutan tahun baru) dan juga pesta gotilon. Segi persembahan dalam upadara kruban sangat penting. Persembahan yang dialkukan mempunyai intensi atau maksud-maksud tertentu yaitu ganjaran balasan diberi oleh mahkluk-makhluk supernatural lewat sesuatu cara.

Prinsip do ut des (saya memberi supaya engkau pun memberi) agaknya berlaku dalam kurban Batak Toba. Dalam prinsip ini Yang ilahi seoalah-olah manusia dan mahluk adikodrati tidak dapat memberi atau menerima materi dengan cara seperti yang diperbuat manusia. Hanya saja dari pihak pengurban ada keyakinan bahwa roh-roh sanggup berbuat apa saja sesuai dengan keinginannya dan si pengurban sendiri tidak berdaya seperti mahluk supernatural.

Kedua, dalam bukunya yang berjudul Dendang Bakti, A.B. Sinaga yang melihat bahwa kurban Horbo Bius yang merupakan persembahan tertinggi di dalam budaya Batak Toba merupakan suatu perjamuan makan komunal di mana para pengurban dan Mulajadi Na Bolon ‘seolah-olah’ berbagi makanan yang sama. Binatang kurban yang dipersembahkan yang diinterpretasikan lewat gerak-gerik binatang saat dikurbankan, dalam artian tertentu, seolah-olah menyampaikan pesan-pesan bahkan identik dengan diri Ilahi (A.B, Sinaga, 2004; 177-288). Dalam kurban Horbo Bius ini tampil persekutuan yang melupakan elemen dasar dari persekutuan. Tindakan saling berbagi bersama, menerima dan memberi tampak dalam persekutuan. “Mereka yang duduk bersama dalam perjamuan dipersatukan dalam semua efek sosial” (William a. Lessa dan Evon Z. Vogt, 1965; 41). Baik manusia maupun yang Ilahi hadir secara bersama seperti menampilkan harmoni awal.

Kurban menjadi jalan untuk mempersatukan manusia dengan penghuni dunia kayangan. Konsep orang Batak mengatakan demikian: pelean patedekhon habonaran, hatigoran dohot hasintongan ni roha tu Mulajadi Na Bolon, asa gundur pangalamuni dohot ansimun pangalambohi. Pelean gabe dalan pardomuan dohot pardengganon habonaron dohot parhataon dompak Mulajadi nabolon. Artinya, kurban sungguh menjadi jalan, membenarkan memperbaiki relasi yang sudah rusak dengan yang ilahi dan manusia-kosmos.

Ketiga, salah satu unsur yang menyolok dalam kurban yakni adanya komunikasi dengan penghuni dunia atas (banua ginjang) lewat kurban yang telah dikuduskan. Pengudusan kurban itu sepertinya dimaui oleh Mulajadi. Kosmos menjadi hasea (berkhasiat, bermakna dan sakral) dan ilahi. Dengan berdasar pada paham hasea, lahirlah pembaharuan sikap moral orang yang melakukan tindakan pengurbanan baik kepada sesama, alam maupun kepada Sang Kudus. Secara tidak langsung upacara kurban mengimplikasikan suatu tindakan penyucian, karena dengan cara itu obyek kurban berubah dari status profan ke status sakral. Siapakah yang diyakini dapat membaca makna religius dari kurban ini? Datu (shaman) menjadi penentu karena mereka mempunyai kapasitas untuk menafsirka maksud ilahi tersebut. Ada suatu keyakinan bahwa shaman mempunyai pathos ilahi kultural.

Tidak ada komentar: