Kamis, 25 September 2008

Hoda Debata

Pada tanggal 18 Februari 2003 penulis mengikuti Seminar Doctoral Spiritualitas Kontekstual di Tanah Batak. Salah seorang narasumber mengatakan pernyataan berikut: pitu anak ni horbo sipatogutoguon, alai sada anak ni hoda sipaabingabingon. Pernyataan itu mengejutkan penulis sebab selama ini penulis berpikir bahwa kerbau adalah binatang kurban yang utama dalam menjalin relasi dengan Sang Kudus Mulajadi-nya Orang Batak Tua. Dari pernyataan tersebut nampak bahwa Kuda merupakan binatang kurban yang sangat tinggi nilainya bila dibandingkan dengan kerbau.
Bagaimana saya harus mencari informasi yang lebih dalam untuk memaknai pernyataan tersebut? Dari dokumen yang saya ketahui, pembicaraan tentang kurban kuda sangatlah minim bila dibandingkan dengan kurban kerbau. Upacara kurban kerbau sering disebut dengan mangalahat horbo. Berarti suatu upacara menyembelih kerbau jantan yang ditambatkan pada kayu borotan, untuk mengadakan reuni sambil merenungkan partisipasi roh-roh anggota keluarga yang diiringi dengan pemukulan gendang sekaligus mengadakan pembaharuan terhadap segala sesuatu secara communal. Upacara kurban kerbau juga dipakai untuk menyambut tahun baru.
Karena dokumentasi tentang upacara kurban kuda sedikit minim, terpakasa saya mencoba pergi ke daerah Batak yang sering memotong kuda yaitu Dolok Sanggul.Jawaban yang didapat penulis yaitu bahwa kurban kerbau yang disebut dengan “Mangalahat Horbo” dan kurban kuda yang disebut dengan mangalahat hoda memiliki nilai yang sama. Orang yang mengatakan kurban kuda sebagai yang tertinggi mengatakan nampak dari beberapa istilah yang dikenakan kepada upacara tersebut dan sangat terasa dari ungkapan yang mengatakan: pitu anak horbo sipatogu-toguon alai sada do anak ni hoda ingkon sipaabingabingon?
Pandangan bahwa Kurban Kuda lebih tinggi nilainya merujuk pada istilah yang dikenakan kepada Kuda sendiri. Kerbau tidak pernah dikatakan dengan istilah Kerbau Ilah (Horbo ni Debata) tetapi untuk kuda ditemukan istilah cultural yaitu Hoda Debata (Hoda Miahan) yaitu kuda yang diurapi. Kuda dipelihara dengan baik dan terkadang milik suatu marga yang akan dipersembahkan kepada Debata Mulajadi Nabolon.Menurut informan penulis lagi, Kuda lebih dahulu dikuduskan sebelum dipersembahkan dengan upacara tertentu. Pengudusan atau penyucian berlangsung di sebuah mata air yang dinamai homban. Homban adalah mata air yang dipelihara yang disekelilingnya ditanami bunga-bungaan dan pepohonan, kepunyaan satu marga atau keturunan seseorang leluhur.Setelah penyucian berlangsung, kuda direciki dengan air jeruk purut yang sudah didoakan. Setelah perecikan berlangsung, kuda dihiasi dengan bunga-bungaan dan diarak ke kampong. Kuda tidak langsung disembelih tetapi dipelihara sehingga pada suatu saat akan dipersembahkan.Biasanya kuda dipersembahkan kepada Debata Natolu. Kuda yang berwarna hitam dipersembahkan kepada Debata Bataraguru, kuda yang berwarna putih dipersembahkan kepada Debata Bala Sori dan yang berwarna merah dipersembakan kepada Debata Mangalabulan. Ketiga warna merupakan warna dari Debata Natolu.Kuda dikurbankan untuk tolak bala yang sedang dan akan terjadi. Kuda juga dikurbankan untuk mengembalikan status bahari para arwah yang selalu mengganggu kehidupan orang yang masih berada di dunia yang sering disebut dengan papurpur sapata. Kuda sering juga dikurbankan untuk menebus segala dosa dan penyempurnaan diri.
Kehausan pengetahuan tentang kurban kuda secara ritual Batak Toba semakin terpenuhi ketika ada informan menceritakan pengalamannya saat mengikuti upacara tolak bala pada tanggal 29 Juli 2006 yang lalu yang menjadikan Kuda sebagai kurban. Ritus dimulai dengan Tortor Pangurason(penyucian). Tujuan ritus ini adalah penyucian dan pengudusan agar roh-roh jahat tidak mendekat pada tempat dan para peserta upacara. Pemimpin upacara merecikkan air dalam cawan yang dibawa para panortor (penari). Setelah perecikan itu dilanjutkan lagi dengan Tortor Sipitu Sawan. Secara mitologis ketujuh cawan berisi tujuh ilmu pengetahuan dan kesaktian orang Batak Toba. Kemudian dilanjutkan dengan penghormatan Mulajadi na Bolon dengan mengapungkan sesajen ke Danau Toba. Bagian ritus ini dimpimpin oleh (dukun perempuan). Sibaso lewat mantra yang dilafalkan meminta keselamatan dan dijauhkan dari bala.Ritual pun dilanjutkan yaitu Tortor Tunggal Panaluan yang merupakan suatu ritus yang wajib dalam pesta budaya Batak Toba. Tunggal panaluan dianggap orang Batak keramat dan tidak sembarang digunakan. Tunggal Panaluan hanya dimiliki oleh golongan raja dan datu dan digunakan untuk menjelaskan tanda-tanda alam, termasuk menentukan keputusan. Tortor Tunggal Panaluan hanya ditarikan oleh sang Datu, pemimpin liturgy. Setelah selesai Tortor Tunggal Panaluan, upacara selanjutnya mamattik Borotan yang digunakan sebagai tempat mengikat hoda(kuda) yang akan dipersembahkan.Setelah upacara ini, kudapun diikat di tiang borotan. Lalu peserta dipersilahkan mengelus kuda sembelihan sambil tetap menari yang dipimpin oleh pemimpin liturgy (dukun).
Secara simbolik mengusap kuda analog dengan pengiklasan kuda untuk dipersembahkan. Elusan atau usapan dinilai sebagai cara untuk mentransfer segala perbuatan jahat para peserta tanpa kecuali. Roh kuda dalam refleksi ini dijadikan sebagai mediasi yang berfungsi untuk menunjukkan tanda penyesalan akan segala perbuatan jahat. Setelah itu kudapun disembelih. Darah, daging bahkan nafas kuda tetap berlaku sebagai mediasi kurban dan sekaligus menjadi penambah orang yang menyantapnya.Upacara kurban ini berakhir dengan Pamelean Bolon. Artinya persembahan agung kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Persembahan diarak dan disajikan secara berurutan. Daging kuda yang telah disembelih dan dimasak dihantar ke mesbah sambil diiringi denganTortor marsiolopan (saling membantu) dan tortor Horas tu Hasahaton Sitiotio (meminta berkat).Upacara ini berakhir dengan makan bersama. Para peserta dipersilahkan mencicipi persembahan itu sembari tetap manortor mengikuti irama gondang. Makanan bukan lagi manakan sembarangan tetapi makanan yang sungguh sacral dan barangkali bisa disebut sebagai sacrament karena sudah terimbuhi oleh daya ilahi. Mendengar kisah itu, perasaanpun sedikit lega. Harus diakui dan diterima bahwa tradisi Batak Toba Tua sangat kental dengan upacara kurban bahkan menjadi cirinya yang utama. Dalam menjalin relasi dengan dunia atas yang memuncak pada Mulajadi Na Bolon, kurban seolah-olah menjadi syarat utama agar penghuni dunia atas mau duduk bersama dengan penghuni dunia tengah sebagaimana diungkapkan dalam maksim yang mengatakan: di si sirungguk di si sitata, di si hita juguk di si do Ompunta Debata.

Tidak ada komentar: